Tapaktuan| Bijeh. com _ Delky Nofrizal Qutni Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Aceh, mengecam keras kebijakan pertambangan di Aceh yang dinilainya tidak adil. Ia menilai izin pertambangan rakyat (IPR) dipersulit dengan dalih birokrasi, sementara akses bagi korporasi justru dimudahkan.
“Kalau izin ini tidak segera disahkan, rakyat akan terus miskin di tanahnya sendiri, sedangkan korporasi menikmati hasil bumi Aceh,” tegas Delky di Tapaktuan, Sabtu (2/8/2025).
Menurutnya, percepatan IPR bukan hanya soal legalitas usaha tambang. Ini adalah kunci untuk mengangkat ekonomi Aceh sekaligus cara mengikis tambang ilegal, menekan kerusakan lingkungan, dan menciptakan pola tambang yang lebih manusiawi serta ramah lingkungan.
Delky menilai pemerintah Aceh gagal memanfaatkan kekhususan yang diberikan UUPA. Dari 19 provinsi lain di Indonesia, sebagian besar sudah memiliki Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), sementara Aceh—yang memiliki kekhususan—justru masih tertinggal. “Selama ini rakyat cuma jadi penonton. Wilayah tambang lebih banyak digelontorkan untuk korporasi melalui WIUP, sementara untuk rakyat selalu dipersulit,” ujarnya.
Meski mengapresiasi rencana Gubernur Aceh terpilih, Muzakir Manaf (Mualem), untuk melahirkan qanun pertambangan rakyat, Delky mengingatkan bahwa tanpa keseriusan SKPA dan DPRA, qanun itu hanya akan menjadi pepesan kosong. “Ketika qanun itu lahir, jangan sampai tanah tambang untuk rakyat sudah habis dikuasai korporasi,” tegasnya.
Ia juga mendesak adanya kebijakan pembiayaan yang berpihak pada masyarakat. Bank Aceh Syariah, kata Delky, perlu bertransformasi menjadi bank produktif dengan meluncurkan program Pembiayaan Pertambangan Rakyat (PPR). “Korporasi bisa pinjam modal hanya bermodal izin eksplorasi, kenapa rakyat tidak bisa? Ini murni soal keberpihakan,” katanya.
Namun, perlu dipahami bahwa sebagai daerah yang memiliki kekhususan berdasarkan UUPA dan PP Kewenangan Aceh, urusan pertambangan di Aceh diatur sepenuhnya oleh Pemerintah Aceh melalui qanun, termasuk untuk sektor pertambangan rakyat. Sayangnya, sejak perdamaian Aceh hingga kini, pengelolaan pertambangan rakyat masih berlangsung secara ilegal. Pemerintah belum melakukan legalisasi dan tidak kunjung menyiapkan aturan yang memungkinkan tambang rakyat memperoleh status hukum yang jelas.
Pertanyaan besar pun muncul: Apakah selamanya tambang rakyat akan dianggap PETI—Pertambangan Tanpa Izin—dan terus dicap ilegal?
Delky mengeluarkan ultimatum keras: “Aceh tidak butuh lagi janji-janji manis setiap pergantian pemimpin. Jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, buktikan sekarang dengan menetapkan WPR dan menghadirkan kebijakan pembiayaan tambang rakyat. Kalau tidak, sejarah akan mencatat bahwa kekhususan Aceh hanyalah alat politik yang menipu harapan warganya sendiri. Jangan tunggu sampai rakyat menuntut haknya dengan cara yang tak lagi bisa dikendalikan.”