Banda Aceh_Bijeh.com Majelis Pendidikan Aceh (MPA) bagai kapal megah yang terombang-ambing di tengah samudra, tanpa nahkoda. Padahal, kompas telah jelas: *Qanun Nomor 7 Tahun 2022* yang dirancang sebagai peta jalan transparan untuk memilih kapten kapal. Namun, *Komisi 7 DPR Aceh* justru membiarkan kapal ini terjebak pusaran birokrasi, bahkan hendak membongkar deknya sendiri.
“Ironis! Mereka yang merancang Qanun ini kini malah menelantarkannya,” tegas **Dr. Jalaluddin, M.Pd**, Dekan FKIP Universitas Serambi Mekkah, suara lantang di antara diamnya elite. Akademisi muda ini mempertanyakan mengapa hasil *Musyawarah Besar (Mubes)* yang melibatkan puluhan tokoh pendidikan—dari profesor hingga perwakilan dayah—diabaikan begitu saja.
**Konsistensi yang Dicabik, Keistimewaan yang Dikubur**
MPA seharusnya menjadi mercusuar pendidikan Aceh, tetapi kini redup oleh sikap *DPR Aceh* yang gamang. Qanun 2022 dirancang dengan mekanisme ketat: penjaringan berjenjang, penyaringan oleh tim ahli, hingga *Mubes* yang melibatkan multistakeholder. Namun, proses mandek setelah 21 nama calon pemimpin MPA dikirim ke *Komisi 7 DPR Aceh*.
“Jika mereka ragu dengan kinerja tim seleksi—yang diisi para profesor seperti *Abdi A. Wahab* dan *Nazamuddin*—kenapa tidak dipanggil saja? Daripada malah menyebar isu rekrutmen ulang yang tak berdasar hukum,” sindir Jalaluddin.
**Tokoh Muda Aceh: “Bubarkan Saja Jika Tak Dianggap!”*
Di tengah stagnasi, suara-suara kritis seperti Jalaluddin muncul bagai petir di siang bolong. Ia menawarkan solusi radikal: **“Bubarkan saja MPA jika elite politik tak serius menjalankannya. Jangan biarkan lembaga keistimewaan jadi panggung sandiwara!”**
Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Jika *DPR Aceh* terus mengulur waktu, MPA—yang seharusnya menjadi garda depan pembenahan pendidikan Aceh—akan mati suri. Padahal, tugasnya strategis: memberi rekomendasi anggaran pendidikan hingga memastikan kebijakan sesuai khittah keistimewaan Aceh.
*Aceh Butuh Pemuda yang Berani Berteriak**
Jalaluddin, mewakili generasi muda Aceh, mengajak semua pihak berani bersuara: **“Pendidikan Aceh bukanlah ladang politisasi. Jika kita diam, siapa lagi yang akan memperjuangkannya?”**
Kini, bola ada di tangan *DPR Aceh*. Apakah mereka akan memperbaiki layar kapal yang koyak, atau membiarkannya karam—menenggelamkan masa depan pendidikan Aceh?