Bank Syariah di Aceh Dipertanyakan: Bebas Riba atau Sekadar Berganti Istilah?

Fani Atiqah Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Manajemen USK

Banda Aceh | Bijeh. com  — Setelah Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 diberlakukan, seluruh bank konvensional di Aceh resmi ditutup atau berkonversi menjadi syariah. Provinsi ini menjadi satu-satunya wilayah di Indonesia yang menerapkan sistem perbankan syariah secara penuh. Namun di tengah penerapan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat: apakah bank syariah benar- benar bebas dari riba?

Aceh merupakan salah satu wilayah yang memperoleh status otonomi khusus, yakni pemberian kewenangan dan hak istimewa yang lebih luas kepada Pemerintah Provinsi Aceh dalam mengatur serta mengelola berbagai urusan pemerintahan (Ali, 2019). Otonomi khusus ini memiliki dasar hukum pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dijalankan melalui undang-undang khusus yang dirancang untuk mengatur Aceh

Salah satu aspek utama dari otonomi khusus tersebut adalah kewenangan Aceh untuk menerapkan hukum syariah di wilayahnya, meliputi bidang hukum pidana, peradilan agama, hingga aspek moralitas masyarakat. Berdasarkan kewenangan tersebut, pemerintah eksekutif dan legislatif Aceh menetapkan Qanun No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS), yang mewajibkan lembaga keuangan di Aceh beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Saat ini Aceh sedang melakukan reformasi besar dalam sistem pengelolaan lembaga keuangannya. Pemerintah daerah telah menetapkan Qanun Nomor 11 Tahun 2018 yang mewajibkan seluruh lembaga keuangan untuk beroperasi berdasarkan prinsip ekonomi Islam. Bagi masyarakat Aceh, penerapan sistem ekonomi syariah dipandang sebagai kebutuhan penting dalam mendukung kesejahteraan rakyat. Seluruh lembaga keuangan diwajibkan menyesuaikan diri dengan regulasi tersebut dalam kurun waktu tiga tahun sejak 4 Januari 2019.

Keberadaan Lembaga Keuangan Syariah di Aceh mencerminkan implementasi prinsip-prinsip keuangan Islam dalam konteks budaya dan sosial yang sarat dengan nilai-nilai keislaman. Sebagai wilayah dengan sejarah panjang sebagai pusat perkembangan Islam di Indonesia, Aceh menjadikan lembaga keuangan syariah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah.

Lembaga keuangan syariah di Aceh menyediakan berbagai produk dan layanan, termasuk pembiayaan berbasis syariah serta tabungan dengan mekanisme bagi hasil. Pada level lokal, lembaga-lembaga ini berperan dalam memperluas inklusi keuangan, mendukung pembiayaan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, serta menerapkan pendekatan yang selaras dengan nilai dan norma Islam yang mengakar kuat dalam masyarakat Aceh. Dengan demikian, keberadaan lembaga keuangan syariah di Aceh tidak hanya berfungsi sebagai alternatif layanan finansial, tetapi juga mencerminkan perpaduan harmonis antara prinsip syariah dan kearifan lokal dalam mendorong pembangunan ekonomi dan sosial di wilayah tersebut.

Secara konsep, perbankan syariah menggunakan akad jual beli, bagi hasil, dan sewa, bukan bunga. Sistem ini dirancang untuk menghindari riba, spekulasi, dan ketidakjelasan transaksi. Namun dalam praktik, sejumlah nasabah menilai margin pembiayaan di bank syariah terasa mirip dengan bunga konvensional. Cicilan tetap, tenor serupa, hingga margin yang mengikuti pergerakan suku bunga acuan nasional membuat sebagian masyarakat mempertanyakan keasliannya.

Salah satu keunggulan utama bank syariah adalah kemampuannya menyediakan berbagai produk dan layanan yang bebas dari unsur riba. Dalam pembiayaan, misalnya, bank syariah menawarkan skema seperti murabahah—jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati—dan ijarah, yaitu pembiayaan berbasis sewa. Selain itu, bank syariah juga menerapkan prinsip pengelolaan dana yang beretika dengan hanya menyalurkan investasi pada proyek atau kegiatan usaha yang memenuhi ketentuan syariah sebagaimana diatur dalam hukum Islam.

READ  Kapolsek Muara Dua Hadiri Syiar Mahabbah Shubuh di Masjid Jabal Nur Paya Punteut

Bank syariah turut menghadirkan akses layanan yang mudah dan profesional bagi nasabahnya. Meskipun berlandaskan prinsip syariah, operasional bank-bank ini tetap mengikuti standar profesional perbankan modern, layaknya bank konvensional. Mereka menyediakan fasilitas digital banking, layanan ATM, serta layanan nasabah 24/7, sehingga masyarakat dapat memperoleh kemudahan transaksi sekaligus menghindari praktik riba.

Bagi individu maupun perusahaan yang ingin menjauhi riba dalam kegiatan keuangan, bank syariah menawarkan solusi yang sesuai melalui penerapan prinsip-prinsip syariah. Bank syariah tidak melakukan praktik pemberian atau penerimaan bunga, melainkan menggunakan mekanisme seperti bagi hasil (profit sharing) atau murabahah sebagai sumber pendapatan. Dengan demikian, masyarakat dapat memanfaatkan produk tabungan, investasi, maupun pembiayaan dari bank syariah tanpa khawatir terlibat dalam sistem keuangan yang bertentangan dengan prinsip Islam

Pengawasan syariah melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) dinilai masih belum berjalan secara optimal. Beberapa pengamat menilai masih terdapat produk perbankan syariah yang memiliki kemiripan dengan skema kredit konvensional. Hal ini juga disampaikan oleh pengamat keuangan Islam sekaligus mantan Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2014–2017, Mulya Effendi Siregar, yang menekankan bahwa perbankan syariah harus mampu menghadirkan diferensiasi yang jelas dari perbankan konvensional.

Menurut Mulya, perbankan syariah perlu merancang produk yang benar-benar unik dan tidak dapat ditiru oleh bank konvensional agar ekosistem perbankan syariah dapat berkembang secara optimal. Ia juga mengungkapkan bahwa pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia saat ini mencapai 6,38 persen, di mana sekitar 66 persen dikuasai oleh bank umum syariah, 32 persen oleh Unit Usaha Syariah (UUS) bank konvensional, dan sekitar 2,5 persen oleh Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS).

Minimnya pemahaman masyarakat mengenai akad-akad syariah turut memperkuat persepsi bahwa bank syariah hanya melakukan perubahan istilah tanpa membawa perbedaan sistem yang signifikan dari perbankan konvensional.

Di Aceh sendiri, tantangan teknis masih terasa. Layanan digital dinilai belum sebaik bank konvensional, sementara produk pembiayaan dan investasi masih terbatas. Kondisi ini mendorong sebagian warga membuka rekening di luar Aceh, seperti di Medan, demi mendapatkan layanan yang lebih fleksibel.

Secara hukum akad, bank syariah tidak menggunakan riba. Namun secara sistemik, bank syariah masih berada dalam ekosistem ekonomi nasional yang dipengaruhi oleh suku bunga. Pakar menilai upaya menuju perbankan syariah yang benar-benar bebas riba masih panjang dan membutuhkan penguatan pengawasan, peningkatan literasi, serta inovasi produk yang lebih autentik.

Aceh telah menjadi pelopor perbankan syariah nasional. Namun efektivitas penerapannya kini menjadi sorotan publik, yang menantikan bukti nyata bahwa sistem ini benar-benar dapat menjadi alternatif yang adil dan bebas riba.

Pemerintah Aceh turut mengupayakan peningkatan literasi keuangan syariah sebagai langkah fundamental untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan daerah. Edukasi melalui komunitas serta pemanfaatan media digital menjadi sarana utama untuk menjangkau masyarakat, khususnya di pedesaan, yang masih memiliki keterbatasan pemahaman mengenai berbagai akad syariah. Peningkatan wawasan mengenai prinsip-prinsip syariah, seperti mekanisme bagi hasil dan larangan riba, berperan penting dalam membangun kepercayaan publik sekaligus mengurangi penolakan terhadap proses konversi sistem perbankan.

READ  Refleksi Solidaritas dan Tantangan Pengungsi Rohingnya

Selain itu, pemerintah juga mengembangkan platform digital berbasis pengaduan sebagai bagian dari strategi untuk merespons dinamika layanan perbankan syariah. Sistem pengawasan daring tersebut memungkinkan monitoring langsung terhadap kualitas layanan yang diberikan lembaga keuangan syariah. Dalam konteks ini, kolaborasi antara pemerintah daerah, BSI, dan Bank Aceh Syariah menjadi sangat krusial, terutama dalam memperkuat layanan digital yang tetap dapat berfungsi secara optimal pada situasi krisis maupun kondisi bencana.

Potensi pasar lembaga keuangan syariah di Aceh tidak hanya didukung oleh mayoritas penduduk yang beragama Islam, tetapi juga oleh tingginya tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap prinsip-prinsip keuangan syariah yang bersumber dari ajaran Islam. Kondisi ini membuka peluang luas bagi perkembangan lembaga keuangan syariah. Aceh menjadi daerah yang unik karena merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum syariah secara komprehensif, sehingga menciptakan lingkungan yang sangat kondusif bagi pertumbuhan sektor keuangan syariah.

Dominasi penduduk Aceh yang mengidentifikasi diri sebagai umat Islam berpengaruh besar terhadap tingginya permintaan terhadap produk dan layanan keuangan syariah. Larangan terhadap riba, spekulasi, dan berbagai praktik keuangan konvensional lainnya mendorong terciptanya pangsa pasar yang kuat bagi lembaga keuangan syariah. Masyarakat Aceh yang memiliki pemahaman mendalam tentang nilai-nilai Islam cenderung memilih layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah, sehingga menghadirkan peluang besar bagi lembaga keuangan syariah untuk menawarkan solusi finansial yang halal dan sesuai dengan ketentuan agama.

Selain itu, penerapan hukum syariah yang tegas di Aceh memberikan kepastian hukum yang kuat bagi lembaga keuangan syariah. Dengan regulasi yang jelas dan mendukung, lembaga keuangan syariah dapat menjalankan operasionalnya dalam lingkungan yang stabil dan terlindungi. Situasi ini juga menarik minat investor serta pemangku kepentingan, dan menjadi fondasi penting bagi pertumbuhan sektor keuangan syariah di wilayah tersebut.

Larangan riba yang dipandang bertentangan dengan prinsip keadilan Islam turut mendorong masyarakat Aceh untuk mencari alternatif pembiayaan yang sesuai dengan nilai-nilai syariah. Kondisi ini membuka peluang bagi lembaga keuangan syariah untuk merancang produk pembiayaan inovatif yang selaras dengan kebutuhan masyarakat lokal. Pendekatan tersebut tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat, tetapi juga berpotensi mendorong pemberdayaan ekonomi di tingkat daerah.

Untuk mengoptimalkan potensi pasar, lembaga keuangan syariah di Aceh perlu memperkuat edukasi dan sosialisasi mengenai keuangan syariah. Peningkatan literasi masyarakat terkait manfaat dan prinsip dasar keuangan syariah dapat memperluas penerimaan dan partisipasi mereka terhadap produk yang ditawarkan. Program edukasi keuangan, seminar, dan kampanye informasi yang menyasar berbagai kelompok masyarakat dapat menjadi strategi yang efektif.

Secara keseluruhan, potensi pasar lembaga keuangan syariah di Aceh sangat besar dan prospektif. Dengan landasan religius yang kuat, dukungan regulasi yang memadai, serta tingginya kesadaran masyarakat terhadap keuangan syariah, Aceh berpeluang menjadi model pengembangan lembaga keuangan syariah yang sukses dan berkelanjutan di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *