Banda Aceh |Bijeh.com. _ Di sebuah warung kopi, tiga orang dewasa duduk berdekatan, namun masing-masing asyik menatap layar ponselnya. Meja yang semestinya menjadi ruang percakapan dan berbagi cerita kini terasa sunyi. Internet memang menghadirkan dunia dalam genggaman, namun seringkali menghilangkan rasa kehadiran orang-orang di depan mata.
Foto diatas menjadi cermin zaman sekarang , kita hadir secara fisik, tetapi jiwa kita terhubung ke ruang maya yang tak kasatmata.
Kondisi itu menunjukkan perubahan besar dalam pola interaksi sosial. Jika orang dewasa saja semakin jarang membangun percakapan tatap muka, maka bagaimana dengan generasi muda?
Anak-anak tumbuh menyaksikan kebiasaan ini, belajar bahwa ponsel lebih menarik daripada cerita nyata. Keakraban yang biasanya tumbuh dari obrolan sederhana perlahan tergeser oleh keasyikan melihat layar, meninggalkan ruang kosong dalam komunikasi emosional.
Bayangkan jika fenomena ini terjadi pada anak-anak usia SMP dan SMA. Persahabatan mereka mungkin lebih terasa di dunia digital—lewat pesan singkat, emoji, dan unggahan foto—namun terasa hambar ketika bertemu langsung. Mereka bisa saja duduk di meja kantin sekolah, tetapi masing-masing sibuk menatap ponsel.
Momen yang seharusnya diisi dengan tawa, saling curhat, atau diskusi tentang mimpi masa depan berubah menjadi keheningan yang dingin.
Dalam keluarga, anak-anak yang terbiasa berinteraksi dengan layar lebih banyak daripada dengan orang tua atau saudara kandung bisa kehilangan rasa kedekatan. Momen makan malam yang biasanya menjadi ruang berbagi cerita sekolah dan canda tawa, mungkin hanya dipenuhi suara notifikasi ponsel. Jika ini terus terjadi, komunikasi keluarga menjadi dangkal, dan anak akan merasa lebih terhubung dengan dunia maya daripada dengan keluarganya sendiri.
Sepuluh tahun kemudian, generasi ini mungkin akan tumbuh menjadi individu yang mahir berinteraksi secara digital tetapi kaku dalam hubungan nyata. Persahabatan bisa menjadi rapuh karena lebih didasarkan pada interaksi instan yang dangkal. Kemampuan memahami perasaan teman mungkin menurun karena mereka lebih sering berkomunikasi dengan simbol-simbol digital daripada ekspresi wajah dan nada suara.
Dalam keluarga, dampaknya juga terasa. Ketika anak-anak ini dewasa, mereka mungkin kesulitan membangun kehangatan di rumahnya sendiri. Mereka terbiasa dengan kecepatan dunia maya yang instan, sehingga lupa bahwa membangun hubungan emosional butuh waktu, perhatian, dan kehadiran yang nyata. Kepedulian antaranggota keluarga bisa berkurang, karena rasa empati yang kurang terasah dalam interaksi nyata.
Foto orang dewasa di warung kopi ini bukan hanya potret momen, tetapi juga peringatan tentang masa depan. Internet dan ponsel adalah alat yang luar biasa, namun jika tidak digunakan dengan bijak, ia dapat merampas kehangatan hubungan manusia. Kita perlu menyeimbangkan dunia digital dengan dunia nyata agar 10 tahun mendatang, persahabatan dan keluarga tetap memiliki ruang hangat untuk bercengkerama, saling peduli, dan tumbuh bersama.