Jangan Rampas Sumur Rakyat! DEM Aceh Desak Legalitas Berpihak pada Penghidupan dan Keadilan Energi

Lhokseumawe |Bijeh.com— Pemerintah Aceh melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai melakukan pendataan sumur minyak rakyat di sejumlah wilayah, menyusul terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 14 Tahun 2025. Peraturan ini untuk pertama kalinya memberikan kerangka hukum bagi pengelolaan sumur minyak tradisional oleh masyarakat.

Langkah ini menjadi titik krusial, terutama bagi wilayah seperti Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara yang sejak lama dikenal sebagai kantong-kantong sumur minyak rakyat. Ribuan warga menggantungkan hidup dari pengeboran tradisional yang penuh risiko, sembari terus menghadapi stigma ilegalitas dan potensi kriminalisasi.

Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh menyambut positif langkah pendataan ini, tetapi sekaligus mengingatkan bahwa proses legalisasi harus benar-benar berpihak pada rakyat. “Sumur rakyat tidak boleh dijadikan milik BUMD, koperasi, apalagi celah bagi korporasi besar mengambil alih atas nama ‘penataan’. Legalitas harus menjadi alat pemulihan hak rakyat atas tanah dan sumber daya yang mereka kelola dengan risiko dan jerih payah tinggi,” tegas Waliyurrahman, Kepala Divisi SDM DEM Aceh.

Ia menambahkan bahwa legalitas semestinya menjamin perlindungan keselamatan kerja, pengakuan sejarah hidup masyarakat, serta memperkuat posisi tawar mereka dalam sistem energi nasional yang selama ini tertutup dan korporatis. Ia mengakui bahwa keterlibatan koperasi rakyat dapat menjadi solusi bagi hasil yang adil, tetapi hanya jika disertai mekanisme transparan dan berpihak.

“Legalitas jangan sampai menjadi sekadar prosedur administratif yang justru menggusur rakyat dari sumber penghidupannya,” tambahnya.

DEM Aceh menyerukan agar Pemerintah Aceh dan seluruh pemangku kepentingan menjamin bahwa legalisasi ini benar-benar menyentuh kebutuhan dan keselamatan masyarakat. Beberapa tuntutan mereka antara lain:

Penyusunan regulasi tata kelola pertambangan rakyat yang menjamin keselamatan dan keberlanjutan.

READ  Bank Aceh : 52 Tahun Menyatukan Langkah, Membangun Aceh

Pendampingan hukum dan teknis kepada pengebor tradisional selama masa transisi legalisasi.

Penghentian segala bentuk kriminalisasi terhadap pengebor rakyat.

Skema bagi hasil yang adil dan transparan, melibatkan masyarakat dalam proses distribusi.

Pelatihan keselamatan kerja, alih teknologi, dan pemenuhan standar K3LL secara berkala.

Waliyurrahman juga mengingatkan tragedi ledakan sumur minyak di Dusun Bhakti, Gampong Pasir Putih, Ranto Peureulak (2018) yang menewaskan puluhan warga. “Itu bukan sekadar kecelakaan teknis, tapi bukti nyata kelalaian negara dalam melindungi aktivitas pengeboran rakyat,” tegasnya.

Ia pun mempertanyakan kesiapan pemerintah dalam menerapkan prinsip Good Engineering Practices (GEP) di sektor sumur rakyat yang masih sangat tradisional. “Apakah sudah disiapkan skema pelatihan dan transformasi teknis? Bagaimana nasib sumur-sumur rakyat yang sudah beroperasi jauh sebelum aturan ini terbit? Apakah otomatis diakui, atau justru harus mengulang proses dari nol?” tanyanya.

Menutup pernyataannya, Waliyurrahman menekankan bahwa sumur minyak rakyat bukan semata-mata soal energi, tetapi simbol kedaulatan rakyat atas tanah, sejarah, dan masa depan mereka. “Legalitas harus jadi jembatan menuju keadilan energi, bukan alat penyingkiran yang dibungkus prosedur,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *