Soal Tambang PT BSM di Samadua, IMPS Kirim Surat Cinta kepada Pemerintah pada Momentum HUT Aceh Selatan

Keterangan foto : Acara Silaturrahmi Mahasiswa Samadua beberapa waktu lalu

Tapaktuan | Bijeh. com – Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-69 Kabupaten Aceh Selatan tahun ini, Senin 24 November 2025, diwarnai oleh keresahan mendalam dari masyarakat Samadua. Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Samadua (IMPS) melayangkan “surat cinta” terbuka yang menyoroti masuknya lahan perkebunan warga ke dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Bersama Sukses Mining (BSM) tanpa sosialisasi yang memadai ke masyarakat, tanpa sepengetahuan pemilik lahan yang sudah mengelola lahan tersebut secara turun temurun.

Berikut isi surat cinta tersebut :

*Surat Cinta Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Samadua*

_Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh._

Salam hormat kepada kepada Bupati Aceh Selatan, para pemimpin kami, para wakil rakyat, para pemilik amanah, dan seluruh masyarakat yang mencintai tanah ini sebagaimana kami mencintai kampung halaman yang membesarkan kami.

Hari ini, di momentum Hari Ulang Tahun ke 69 kabupaten Aceh Selatan, seharusnya kita merayakan harapan. Seharusnya kita mengenang sejarah, memupuk masa depan, dan meneguhkan kembali janji bahwa tanah yang diwariskan oleh nenek moyang kita akan tetap aman untuk anak cucu kita. Namun, izinkan saya menulis dengan hati yang pilu, karena perayaan ini justru dipenuhi kegelisahan. Kegelisahan tentang tanah yang tiba-tiba “dimasukkan peta WIUP” tanpa sosialisasi ke masyarakat, tentang izin yang lahir tanpa sepengetahuan pemilik lahan, dan tentang ancaman konflik yang semakin nyata di Samadua.

Kami, para mahasiswa dan pelajar Samadua, tumbuh dari tanah yang sama yang hari ini dipetakan dalam WIUP PT Bersama Sukses Mining (BSM). Tanah yang sejak lama menjadi tempat masyarakat berkebun pala, durian, cabai, jengkol, dan berbagai tanaman yang menjadi sumber hidup keluarga mereka. Tanah yang menjadi bukti kerja keras petani yang bangun sebelum matahari terbit. Beberapa tahun terakhir, memang ada warga yang mendulang emas di sungai, itu pun dengan alat seadanya berupa dulang, cangkur, dan mesin sedot kecil. Bukan alat berat, bukan aktivitas destruktif menggunakan puluhan. Itu hanyalah upaya bertahan hidup, mencari nafkah menghidupi keluarga, bukan eksploitasi besar-besaran ala perusahaan.

Tetapi kini, masyarakat dikejutkan oleh kenyataan pilu bahwa PT BSM ternyata telah memegang IUP Eksplorasi. Lebih mengejutkan lagi, wilayah izin mereka justru meliputi kebun pala, kebun durian, dan lahan turun-temurun masyarakat Samadua. Yang lebih menyakitkan, hal ini terjadi tanpa adanya sosialisasi terbuka kepada masyarakat. Yang katanya “hanya survei” ternyata diam-diam berubah menjadi dokumen izin tambang yang dikunjungi perusahaan.

READ  Pengungsi Rohingnya Berlabuh di Aceh Timur

Sebagai mahasiswa, kami melihat peristiwa ini bukan hanya persoalan moral, tetapi juga persoalan hukum. Ada aturan yang jelas yang dilanggar, dan kami wajib mengingatkan pemerintah, dengan hormat dan cinta terhadap amanah yang diemban.

Pertama, Aceh memiliki Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Mineral dan Batubara, yang menegaskan bahwa setiap perizinan pertambangan harus memperhatikan keberadaan tanah adat, hak ulayat, serta persetujuan masyarakat yang lahannya masuk dalam WIUP. Bahkan lebih tegas lagi, Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 menegaskan bahwa pemerintah kabupaten memiliki kewenangan melakukan evaluasi, verifikasi lapangan, dan memberikan rekomendasi pencabutan izin apabila ditemukan pelanggaran atau penolakan masyarakat. Aturan-aturan ini bukan sekadar tulisan hukum, ia adalah pagar moral untuk menjaga masyarakat dari kesewenang-wenangan.

Kedua, Aceh telah memiliki kerangka hukum tentang tanah adat. Tanah yang dikuasai secara turun-temurun, yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang dikelola dan dijaga secara berkelanjutan, diakui melalui berbagai regulasi, termasuk putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tentang hak ulayat, serta norma hukum adat Aceh yang hidup di tengah masyarakat. Tanah adat memiliki ciri-ciri yang pasti berupa penguasaan berkelanjutan, adanya hubungan historis, penggunaan untuk kebun atau tempat tinggal, serta pengakuan masyarakat mukim setempat. Semua ciri itu ada di lahan masyarakat Samadua.

Ketiga, muncul dugaan kuat bahwa pengurusan izin PT BSM terjadi secara tidak transparan dan berpotensi bertentangan dengan sejumlah aturan, sehingga Instruksi Gubernur Aceh Tahun 2025 tentang Penataan Perizinan dan Non-Perizinan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mengharuskan setiap izin ditinjau kembali jika terdapat keberatan masyarakat, konflik lahan, atau ketidaksesuaian dengan Qanun, seharusnya menjadi momentum untuk menjawab kerisauan masyarakat.

Jika kita merayakan HUT Aceh Selatan dengan spanduk besar tentang Aceh Selatan yang maju, produktif dan madani, tetapi pada saat yang sama membiarkan kebun masyarakat digusur oleh izin yang kabur, maka apa arti sebuah perayaan?

READ  PORLASI Aceh Besar Resmi Dibentuk, Zulkifli Tamher Terpilih sebagai Ketua Masa Bakti 2025_2029

Pemerintah Aceh Selatan memiliki kewenangan yang tidak bisa diabaikan. Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 memberi mandat jelas kepada Bupati untuk mengevaluasi, memeriksa, dan bila perlu mengajukan rekomendasi pencabutan IUP kepada Gubernur. Kewenangan ini bukan sekadar prosedur administratif, ia adalah tanggung jawab moral.

Karena itu, dengan penuh hormat namun berbingkai ketegasan yang lahir dari kecintaan kami kepada daerah dan masyarakat, kami menyampaikan harapan sekaligus permohonan kuat:

Bahwa di momentum hari lahir kabupaten ini, Pemerintah Aceh Selatan tidak hanya memotong kue, tetapi juga memotong benang kusut perizinan yang berpotensi merusak keharmonisan masyarakat. Kami memohon agar Bupati Aceh Selatan Bapak H Mirwan MS berkenan menjalankan kewenangannya untuk mengevaluasi IUP Eksplorasi PT BSM secara menyeluruh. Jika terbukti bertentangan dengan Qanun dan keadilan masyarakat, maka keluarkanlah rekomendasi pencabutan izin tersebut kepada Gubernur Aceh, demi menghindari konflik sosial yang lebih besar.

Kami juga berharap Gubernur Aceh Bapak Muzakir Manaf (Mualem) dapat mendengar suara Samadua, Aceh Selatan. Suara masyarakat yang hanya ingin kebunnya tetap menjadi sumber hidup, bukan menjadi angka-angka dalam peta korporasi. Jika instruksi penataan perizinan diterbitkan, maka instruksi itu harus ditegakkan. Dan bila berdasarkan evaluasi ditemukan cacat regulasi, maka mencabut IUP Eksplorasi PT BSM adalah langkah hukum yang paling beradab.

Surat cinta ini bukan bentuk perlawanan, tapi panggilan nurani. Kami hanya ingin memastikan bahwa Samadua tetap menjadi rumah yang aman untuk semua warganya. Rumah tempat pala tumbuh, durian berbuah, dan anak-anak kami kelak bisa kembali tanpa takut lahan warisan mereka telah berubah menjadi lubang tambang yang ditinggalkan.

Di ulang tahun Aceh Selatan, kami berharap pemerintah mengambil hadiah yang paling berharga untuk rakyatnya, yakni keberanian menegakkan keadilan.

Hormat kami,
Ketua Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Samadua (IMPS)

Fatan Sabilulhaq

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *