Ku’eh dan Dengki yang Menghadang: Dhalim yang Tak Terbantahkan

Oleh: Nuriman Abdullah, S.Pd.I, M.Ed, Ph.D
Dosen Sosiologi Pendidikan, UINSUNA Lhokseumaw

Sebak dan sesak di dada begitulah perasaan yang kerap menghantui si Banta. Ia bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang selalu berusaha menanam kebaikan di mana pun ada celah. Ia bukan ulama besar, bukan pula tokoh terpandang. Namun satu hal yang membuatnya berbeda: ia tak pernah lelah membantu. Tapi, mengapa niat baik justru berujung pahit? Mengapa setiap ikhtiar tulus selalu dihadang oleh ku’eh, dengki, bahkan pengkhianatan? Banta kerap termenung: “Mengapa setiap niat baik harus menabrak dinding dingin penuh curiga? Bukankah Rasulullah SAW telah mengajarkan kita untuk senantiasa berbuat baik kepada sesama? Bukankah Islam mendorong umatnya untuk menjadi rahmat bagi alam semesta?”

Namun kenyataan sering kali menunjukkan sebaliknya. Mereka yang berpakaian religius, yang fasih berbicara tentang surga dan neraka, justru kadang menjadi aktor utama dalam sabotase halus. Mereka menyimpan ku’eh (kecurigaan patologis) dan dengki, lalu menaburnya dengan senyuman palsu.
Dalam ajaran Rasulullah SAW, berbuat baik bukanlah pilihan, tapi kewajiban moral dan spiritual. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasul bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Bukhari)
Kebaikan dalam Islam bukanlah tindakan reaktif, melainkan prinsip hidup. Bahkan terhadap musuh, Rasulullah menunjukkan akhlak terpuji. Tapi realita sosial kini mengaburkan batas antara dakwah dan tipu daya, antara ukhuwah dan intrik kekuasaan.
Ku’eh dan Dengki: Wajah Lain dari Kezaliman

Ku’eh dan dengki adalah bentuk kezaliman yang tak kentara. Ia tidak selalu membentak, tapi menghancurkan dalam diam. Dengki adalah penyakit hati yang sangat dibenci Allah. Rasulullah SAW bersabda:

“Jauhilah olehmu dengki, karena sesungguhnya dengki itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Muslim)
Ironisnya, penyakit ini sering muncul di lingkungan yang seharusnya steril dari kedengkian seperti masjid, ruang akademik, forum keagamaan. Di situlah si Banta merasa kehilangan arah bukan karena ia tak kuat diuji, tapi karena luka itu datang dari mereka yang semestinya menenangkannya.

READ  Residivis Curanmor Ditangkap Polsek Bandar dalam Waktu Kurang dari 3 Jam

Dengki tidak berdiri sendiri. Ia melahirkan sabotase dan pengkhianatan. Sabotase terjadi bukan karena salah kita, tetapi karena keberhasilan kita dianggap ancaman. Pengkhianatan terjadi bukan karena kita berbuat salah, tetapi karena kepercayaan yang kita berikan dianggap kelemahan. Rasulullah SAW bersabda:
“Tanda seorang munafik ada tiga: apabila ia berbicara, ia berdusta; apabila ia berjanji, ia tidak menepati; dan apabila ia diberi amanah, ia mengkhianatinya.” (HR. Bukhari)

Betapa sakitnya ketika pengkhianatan datang dari mereka yang kita anggap saudara seiman. Mereka yang duduk bersama dalam rapat, yang menyambut hangat di depan, tetapi menggunting dari belakang.

Ketika semua terasa gelap, si Banta hanya memiliki satu pelampung yakni tangisan dalam doa. Ia sadar bahwa hidup bukan tentang membalas dendam, tapi tentang menjaga hati agar tetap utuh meski dikhianati. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya besarnya pahala itu sebanding dengan besarnya ujian. Apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka.” (HR. Tirmidzi)
Mungkin itu sebabnya si Banta terus melangkah. Ia memilih untuk tidak berubah menjadi keras hanya karena dunia terlalu kasar. Ia memilih tetap menanam walau ladangnya sering dibakar. Karena ia yakin, Allah Maha Melihat.

Dalam dunia yang semakin keras dan penuh kepalsuan ini, menjadi baik bukan perkara mudah. Tapi jangan pernah menyerah. Kebaikan bukan tentang respon orang lain, tapi tentang tanggung jawab kita di hadapan Allah. Biarlah ku’eh, dengki, sabotase, dan pengkhianatan menjadi ujian. Tugas kita hanya satu yakni tetap menjadi manusia baik.

Karena pada akhirnya, sejarah akan melupakan mereka yang menghancurkan dengan dengki, tapi akan selalu mengingat mereka yang membangun dengan cinta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *